Memahami Sudut Pandang Orang Lain dengan Novel “Girls in The Dark”

 


Sudut pandang adalah sesuatu yang penting dalam menulis. Mau itu tulisan fiksi maupun non-fiksi. Sudut pandang mampu memberikan gambaran perasaan mengenai tokoh yang disajikan.

Hal itu sama seperti di dunia nyata. Memahami sudut pandang orang lain sangatlah penting. Dalam memahami sesuatu terkadang kita memiliki sudut pandang yang berbeda.

Terkadang kita sulit untuk mengerti sudut pandang orang lain. Apa yang kita bayangkan tidak akan selalu sejalan dengan yang orang lain bayangkan.

Aku menemukan hal ini di salah satu novel karya Akiyoshi Rikako. Novel yang berjudul Girls in The Dark.

Novel ini bergenre thriller/misteri dan diterbitkan oleh penerbit haru. Novel ini adalah novel pertamaku dalam membaca karya-karya Akiyoshi Rikako. Novel pertama yang membuatku menyukai karya beliau.

 

***


Cerita diawali dengan adanya pertemuan diantara para anggota klub sastra. Pertemuan itu disebut malam Yami-Nabe. Malam istimewa untuk para anggota klub sastra.

Di malam itu mereka diminta untuk menceritakan cerita pendek yang dibuat oleh masing-masing dari mereka. Cerita pendek itu tentunya mengenai mendiang ketua mereka Shiraishi Itsumi. Kenangan mereka mengenai ketua yang mereka banggakan.

Akan tetapi, cerita pendek itu adalah analisis dari masing-masing mereka mengenai siapa pelaku pembunuhan ketuanya. Keenam gadis itu diberikan kesempatan untuk membacakannya.

Hanya saja fakta yang akhirnya mereka ketahui mengubah apa yang mereka percayai. Mengubah apa yang sudah membentuk mereka. Mengubah perspektif mereka mengenai mendiang ketua mereka.

 

***


Membaca novel ini itu seperti membaca kumpulan antologi cerpen. Hanya saja di dalam buku ini cerita tersebut saling menyambung satu sama lain. Ceritanya saling terikat dengan benang merah keseluruhan cerita.

Novel ini memiliki 8 bab. Bab awal adalah mengenai penjelasan apa itu Yami-nabe dan juga peraturannya. Yang menjelaskan itu adalah wakil ketua dari klub sastra yang bernama Sumikawa Sayuri.

Lalu, bab-bab selanjutnya adalah mengenai pembacaan cerpen dari masing-masing anggota. Nantinya di bab terakhir ada penutup yang juga dilakukan oleh Sumikawa Sayuri.

Yang membuat novel ini unik adalah cara pembawaan alur dan tokoh. Hal inilah yang akhirnya membuatku menyukai karya-karya dari Akiyoshi Sensei.

Ketika cerita dimulai, pembaca seperti ditempatkan berada di antara tokoh yang sedang melakukan pertemuan tersebut. Kita seperti hadir di acara itu dan mendengarkan cerita dari masing-masing tokoh.

Suasana yang digambarkan di novel sangat detil dan membuat kepala kita dapat membayangkan tempat fiksi itu.

Menurutku, pembangunan karakter para tokoh di sini cukup sederhana. Tokoh hanya digambarkan pada setiap cerita pendek yang dibacakannya. Kita hanya bisa menerka-nerka apa watak sebenarnya tokoh tersebut.

Waktu awal membaca, aku sama sekali tidak bisa menentukan mana tokoh utamanya. Sebenarnya mau kemana fokus tokoh dari novel ini. Ketika aku sadari, ternyata fokusnya ada pada Shiraishi Itsumi, ketua klub yang menjadi korban.

Selain itu, novel ini memiliki plot yang unik. Biasanya novel misteri memiliki perpindahan latar tempat untuk mendukung penyelidikan dan analisis. Di novel ini, latar tempatnya hanya satu, yaitu hanya di ruangan perjamuan itu.

Karena latar tempat hanya satu, plot pun terkesan lurus. Namun, dengan adanya  pembacaan cerita pendek tersebut, plot pun menjadi naik turun. Apalagi ketika menuju ending. Ketika semua tokoh sudah membacakan ceritanya.

Plot twistnya menurutku sangat cocok. Tidak terkesan buru-buru atau dipaksa. Sangatlah pas ketika ditaruh di bagian akhir, ketika semua tokoh sudah mengutarakan perspektif mereka masing-masing mengenai ketua mereka.

Salah satu pesan yang dapat aku ambil dari novel ini adalah bagaimana sudut pandang orang lain dapat berbeda. Setiap orang ternyata dapat memiliki pendapat mereka sendiri mengenai orang lain.

Pendapat itu dapat menjadi dua hal. Bisa baik atau juga jahat. Tergantung perasaan yang mana yang kita beri makan. Ketika kita lebih memberikan makanan untuk yang jahat, kita akan selalu berprasangka buruk kepadanya.

Jika kita memberikan makanan untuk yang baik, maka tidak akan ada kecurigaan untuknya. Meskipun rasa waspada itu baik, tetapi harus selalu ada batasan wajarnya.

Batasan wajar itu dapat menghentikan kita agar level yang jahat tidak naik menjadi rasa benci, iri, sampai pengkhianatan.


***


Terkadang sudut pandang kita mengenai orang lain memang penting. Tetapi, ada kalanya kita lebih baik diam daripada harus membeberkannya. Diam tidak akan mengundang iblis. 

Komentar

  1. Wah udah dari lama pengen baca buku Akiyoshi Rikako tapi belom kesampean juga. Btw ini unik banget cuma punya 1 latar tempat, berarti Akiyoshi bener-bener nyampein konfliknya pinter banget karena engga berubah latar tapi engga boleh ngebosenin. Makasih saran dan reviewnya ya!

    BalasHapus

Posting Komentar