Ketika Manusia Melupakan Asalnya, Review Novel KKN di Desa Penari

 


Media sedang menyoroti salah satu peristiwa viral intoleran yang baru-baru ini terjadi. Video itu berdurasi 30 detik, menampilkan seorang pria yang membuang sesajen di lereng Gunung Semeru.

Video itu lantas viral. Banyak masyarakat yang pro dan kontra dengan apa yang dilakukan oleh pria tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa sesajen memang hukumnya haram. Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah bagian budaya Indonesia, bagian dari nenek moyang kita.

Karena kejadian itu, aku teringat akan salah satu novel horror yang pernah aku baca. Novel ini cukup terkenal. Awal ceritanya berasal dari thread yang ada di twitter. Judul ceritanya adalah KKN di Desa Penari.

 

***


Cerita yang ada di novel ini sama dengan kejadian viral tadi. Yaitu terjadinya intoleran dan pelanggaran kepada budaya setempat. Cerita dimulai dengan 6 mahasiswa yang akhirnya menemukan tempat untuk mereka KKN.

KKN adalah kepanjangan dari Kuliah Kerja Nyata. KKN ini adalah bagian dari syarat perkuliahan mereka agar bisa lulus. 6 orang mahasiswa yang akan melaksanakan itu adalah Widya, Nur, Ayu, Bima, Anton, dan juga Wahyu.

Mereka berenam senang karena akhirnya mendapatkan tempat KKN. Meskipun tempatnya agak sedikit terpencil. Demi nilai perkuliahan mereka.

Mereka berenam pun akhirnya berangkat dengan mobil. Berencana akan menginap disana selama 6 minggu.

Hari pertama mereka di sana, Widya dan Nur sudah merasakan adanya kejanggalan di desa ini. Nur dikenal cukup religius karena ia lulusan dari pesantren. Kejanggalan pertama adalah ketika Widya dan Nur melihat seorang penari.

Penari itu terlihat di hutan, di dalam perjalanan mereka menuju desa. Selain itu mereka berdua juga mendengar adanya suara tabuh gendang. Suaranya terdengar ramai, seperti sedang ada hajatan.

Kejanggalan itu sempat mereka ceritakan ke teman mereka yang lain. Hanya saja tidak ada yang percaya. Ayu juga menjadi marah karena tidak sopan jika membicarakan itu di desa yang akan ditumpanginya.

Awal kejadian itu adalah awal dari rentetan rantai yang akan membelenggu mereka. Apalagi ketika salah satu dari mereka ternyata ada yang melanggar salah satu peraturan di desa itu. Melanggar aturan yang sakral dan keramat.

 

***


Jujur, keinginanku untuk membaca novel ini sebenarnya tidak ada. Apalagi karena ceritanya sudah ada di internet. Tetapi, karena banyak sekali hal yang belum terungkap, aku memutuskan untuk membelinya.

Dan, ternyata memang ada cerita yang belum terungkap. Salah satunya adalah sudut pandang dari Nur. Di akhir cerita pun nantinya akan lebih dijelaskan mengenai kejadian tersebut.

Hal yang akan kubahas pertama adalah alur cerita. Alur cerita dari novel ini memang sederhana. Akan tetapi, kesederhanaan itu cukup untuk membangkitkan suasana seram.

Indonesia memang terkenal akan budayanya. Ada beberapa penduduk di negeri ini yang tidak tersentuh teknologi. Bahkan tempat tinggalnya masih terpencil.

Latar yang ada di cerita ini cukup untuk memberikan suasana seperti di film-film horror. Saat-saat dimana karakter utama menemukan tempat tinggal di hutan. Lalu, disitu ia akan diteror.

Penokohan yang ada di setiap babnya juga mulus. Tidak memaksa dan terpaksa karena karakternya konsisten.

Menurutku, novelnya seperti tipikal cerita horror pada umumnya. Hanya saja yang membuat ceritanya lebih menarik adalah bumbu sejarah yang ada.

Desa ini diceritakan bahwa mereka memiliki sejarah yang kelam. Hal itu membuat pembaca penasaran dan membuat kita terpancing untuk terus membacanya.

Hal kedua yang akan aku bahas adalah akhir ceritanya. Aku suka dengan akhir ceritanya. Akhir ceritanya lumayan menusuk. Pesan yang terkandung juga sangat dalam.

Hanya karena kita melakukan tindakan bodoh, kita akhirnya terkena hukuman yang harus dibayar dengan nyawa.

Karena novel ini, aku teringat pada satu pribahasa yang berbunyi, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.”

Beberapa kekurangan yang aku temukan di novel ini adalah masih banyaknya kalimat yang tidak efektif. Hal ini membuatku sedikit terganggu karena menjadi susah dimengerti. Lalu, ada juga beberapa typo yang mencolok.

Akan tetapi, kekurangan itu dikalahkan oleh pesan yang ada di novel ini. Pesan untuk kita, manusia, agar tidak lupa darimana kita berasal.

 

***


Manusia berasal dari debu dan tanah. Ketika kita mati, kita juga akan menjadi seperti itu. Untuk itu, apapun yang kita lakukan di dunia akan diperhitungkan. Mau itu dunia ghaib ataupun dunia kita sendiri.

Kita harus tetap saling menghormati dan saling menghargai. Adat istiadat di Indonesia berbeda di setiap daerahnya. Untuk itu toleransi sangat penting.

Toleransi dapat menjaga diri kita untuk selalu dapat menerima. Toleransi juga dapat menjadi jalan agar kita bisa selalu sadar akan asal kita, manusia. Ketika kita lupa akan siapa kita, akan asal-usul kita, disitulah kemanusiaan kita mati.

 

 

 

Komentar